Pages

Rabu, 14 Agustus 2013

Hidup Saya Seperti Nasi

Kau pernah merasa bosan dengan nasi? ya, semangkok nasi yang saban delapan jam ada di depan matamu. Bentuknya hampir sama setiap waktu; mungkin hanya berbeda konsistensi saja. Suatu saat kamu sangat bosan makan nasi. Bagaimana tidak? rasanya terlalu hambar. Kalau saja di meja makanmu ada mie atau roti, mungkin kamu akan memilih selain nasi.
Sebelumnya saya tak pernah sadar jika hidup saya seperti nasi sebelum saya menyadari bahwa 3 tahun kehidupan saya di SMA benar-benar nothing. Mulai awal masuk sma saya hampir selalu rendah diri; selalu merasa lebih berbeda. Saya dari smp "minoritas" yang masuk di sma saya. Saat pendaftaran pengurus osis, saya takut untuk mendaftar, takut apabila nantinya ketika saya masuk yang saya temukan nantinya adalah sekelompok manusia yang satu almamater smp yang pastinya sudah mengenal satu sama lain. 
Ya, saya selalu takut tak diterima.
Saat sma saya mulai mencintai dunia menulis. Saat itulah saya mendapat kesempatan mengikuti pelatiha menulis esai setelah rancangan esai saya diterima oleh juri. Ketika saya mengikuti pelatihan selama 4 hari saya hanya menargetkan saya masuk dalam 15 besar sudah sangat baik. Saya tidak pernah berharap saya menjadi 3 besar
Ya, saya selalu melihat secara praktis dalam sebuah masalah
SNMPTN undangan telah dibuka. Dengan nilai saya yang pas-pasan saya berencana memilih jurusan pendidikan saja, dengan harapan bisa langsung diterima dan tak perlu mengikuti tes. Saya tak ingin ambil resiko daftar UI dengan nilai pas-pasan ini meski saya sangat ingin jadi sastrawan dan ahli sejarah seperti yang dibincangkan juri-juri di sela-sela final lomba. Bahkan untuk menyebut pilihan yang sebenarnya saya inginkan saya malu.
Ya, saya tak pernah berani mengambil resiko
Saya selalu gemar membaca tulisan orang-orang yang berbeda; soe hok gie misalnya. Soe seorang cina yang nasionalismenya pada Indonesia tak diragukan lagi. Dari perbedaan dirinyalah lahir tulisan-tulisan yang sangat menarik untuk dibaca. Teman saya yang dulunya menjadi korban bullying teman sma-nya pun menulis proses ia bangkit secara segar. Sedangkan saya? saya adalah kaum mayoritas bangsa Indonesia. Saya bukan cina, saya muslim dan saya tak pernah menjadi korban bullying (dengan catatan saya bukan juga anak "It girl"-nya sekolahan) saya anak biasa yang dibersarkan oleh keluarga sederhana.
Ya, saya selalu merasa hidup saya seperti nasi, yang berbentuk selalu begitu dengan rasa yang seperti begitu. Saya terlalu biasa, selalu menjadi orang biasa. Orang biasa yang dalam organisasi pun berada di tengah tanpa tugas karena tugas dibebankan pada si rajin yang dapat dipercaya dan si malas supaya loyalitasnya dapat ditempa. 
Saya selalu berharap saya menjadi nasi hambar yang ketika dimasukkan ke mulut dan dikunyah oleh geligi maka dapat menimbulkan rasa manis tersendiri. Tapi apa guna harapan jika tak ada usaha? 



0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 Biskuit Kaleng. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger