Pages

Rabu, 20 November 2013

Blok 8 dan Aneurisma Diseksi Aorta

Menunggu bukan hal gampang, apalagi hal yang ditunggu itu bisa ngerubah hidup seseorang: pengumuman ujian.

Blok 8 ini, seperti blok-blok selanjutnya saya belom pulang sebelum pengumuman. Alhasil saya menikmati kesendirian di antara teman-teman yang siap-siap menuju kampung halaman. Buat mengisi kebengongan yang terus menjadi-jadi saya kembali baca komik Godhand Teru, komik yang bercerita tentang Teru si dokter bedah baru.

Pertama kali baca komik ini sekitar 6 bulan yang lalu tak ada beda dengan membaca komik Detective Conan, tapi selesai blok 8 merasakan feel nikmatnya menebak diagnosis dan terapi pasien yang datang di IGD RS Yasuda Kinen. Bahkan, nomer 32 bercerita tentang Teru yang kesulitan dalam pengenalan bangun ruang merasa kesulitan ketika menangani bedah jantung (blok ini saya mempelajari jantung). Kesulitan membayangkan bangun ruang merupakan kesulitan mutlak dalam belajar anatomi jantung, itu yang saya rasakan sendiri di blok 8.

Salah satu bab menarik di komik ini adalah ketika teru menemui kasus Aneurisma Diseksi Aorta. Dengan gaya khas penulis cerita, awalnya mereka mengira sakit yang dirasakan pasien merupakan sakit dari empedu, appendix atau bagian abdomen lain dan bukan komik Godhand Teru namanya jika tidak ada adegan bedah kolaboratif yang berujung pada kepuasan pasien.

Diseksi aorta? Ketika membaca bab ini saya langsung kepikiran skenario 3 tentang penyakit pembuluh. Yang saya ingat sebatas masuknya darah lewat lapisan aorta (sekitar tunika intima) sehingga membuat rute baru darah. Aorta membengkak dan aliran darah tentunya terganggu. Mungkin juga turbulensi gara-gara "terowongan" baru darah lebih sempit dari semula. Sekedar itu. Etah benar atau salah.



Saya baru sadar kalau ujian kali ini saya sekedar membaca slide kuliah dengan pemikiran ujian blok pasti diambil dari slide kuliah itu. Tanpa buka-buka buku teks lagi.

Padahal, bukan tidak mungkin nantinya saya akan bertemu pasien diseksi aorta. Bagaimana kalau nantinya saya bertemu dengan pasien itu, rasionalkah menjawab: Maaf buk, nggak ada di slide kuliah saya. Ujian juga nggak keluar?

Ketika dokter di jepang sedang giat menjalani proses menjadi dokter generalis,  saya, mahasiswi FK semester 3 di kota kecil timur jawa cuman belajar slide, sekedar buat lulus ujian. Itupun kalau lagi beruntung.

"Ujian bukan tulisan yang tercetak di kertas soal, ujian adalah ketika kamu memegang tongkat estafet yang di Tongkat itulah yang disebut nyawa manusia"

Sabtu, 26 Oktober 2013

Foto di Dynabook

Kisah ini berawal dari laptop acerku yang layarnya pecah terus nggak ketemu servisan yang punya sparepart murahnya sehingga aku balik ke Jember sambil bawa Dynabook lawasku pas SMA. Nama juga laptop lawas pasti super lemot dan super virusan. Buat biar booting timenya cepetan dikit akhirnya koleksi film-film keceku terpaksa dihapus (tapi film GIE sayang banget buat dihapus) dan saat-saat mendebarkan itu pun tiba: buka-buka folder yang dulu aku kasih nama pake nama yang nggak jelas.
Saat itu lah aku ketemu foto-fotoku pas SMA ke Jogja buat studytour. Pas ngeliat foto ini rasanya nano-nano: Pengen nangis, muntah, ketawa, terharu, bahagia dan lain sebangainya. Nih salah beberapa di antaranya
a. Bahagia
aku cumi rida andrin dita




Bahagia banget SMA punya mpok-mpok yang kece. Si Cumi yang digadang-gadang oleh teman-teman mirip sama aku, mpok rida yang jago keyboard dan bisnis online shopnya laris-manis, Andrin yang selalu punya cerita cinta khas anak SMA, dan dita tukang jaga ruang PMR.
b. Terharu
bersama peta (untuk belum tau karvak)
Ke UGM bentar buat tour de FK UGM. Pas itu masuk di ruang anatomi. Pertama kalinya dan rasanya makanan di lambung balik lagi ke esofagus. Asal pegang aja nggak tau kalo itu namanya os. sarcum, foramen ovale, angulus sterni, dan segala istilah lain. Di auditorium FK UGM itu pertama kalinya aku pengen masuk FK. Tiap lihat mbak-mbak yang lagi belajar buku gede-gede di sekitar laboratorium-laboratorium FK UGM yang megah itu rasanya pengen tanya gimana mbak-mbak itu masuk FK. "Ya Allah, aku pengen masuk FK.." gumamku saat itu.
Kalo dulu pas SMA nggak ada satupun temenku yang tau aku bakal milih FK. Jangankan cerita, kalo ada anak yang ngebet masuk FK aja selalu aku kasih petuah ini itu. Dulu temen-temen SMA ngira aku bakal ambil sastra, politik, sejarah atau hal yang berbau soshum. Padahal mana berani aku minta ijin ke ortu buat banting stir ke begituan.
c. Tertawa, muntah, lalu nangis
miring dikit Joss!
Oke, saya pernah sangat alay dan menggila. Istilah gaulnya: liar. Gaya beginian (hampir) di puncak candi borobudur padahal wisatawan lagi rame-ramenya jam segitu. Jarit yang dipinjemi pengelola dibikin sedemikian rupa menjadi suspender dengan sentuhan moderenisasi macanisasi. Dulu sering banget gaya kayak fotonya manohara yang sering ditampilin di silet. Nah ini salah satu modifikasi kegagalannya.

Senin, 02 September 2013

Diversitas Mayoritas

Akhir-akhir ini marak diperbincangkan diversitas; baik lewat film-film pendek maupun diskusi-diskudi santai. Bukan menyoal tentang SARA, namun diversitas tanpa disadari lebih mengarah pada orang-orang minoritas. Tentu saja dengan konklusi minoritas tak selamanya buruk. Soe Hok Gie, dalam kurungan minoritas "Cina yang non agamis" di tahun kejayaan komunisme cina tentu bukan hal mudah di negeri dengan orang-orang yang sedang tersulut api nasionalisme baru. Toh akhirnya karya-karya Soe Hok Gie bisa tetap berdiri di atas keindependensiannya (yang saat itu sangat berani untuk diungkap)

Saya seorang gadis biasa. Bisa dibilang saya mutlak golongan mayoritas: perempuan diantara 70 mahasiswi 2012 di fakultas saya (perbandingan mahasiswa: mahasiswi 3:1) Tentu saja sebagai seorang mayoritas tak mudah untuk mendapatkan sesuatu. Disetiap kepanitiaan khususnya yang memerlukan waktu tempuh ke tempat acara membutuhkan waktu yang lama dikarenakan medan yang sulit, mahasiswa selalu dicari; mahasiswi yang dikurangi. Kadang saya berfikir: Apa benar emansipasi wanita itu benar adanya di zaman populasi meledak seperti ini? Mungkin ini yang luput dari perhatian Ibu Kartini di tahun duapuluhan

Nama saya terlalu pasaran: Icha. Di angkatan saya saja ada 3 nama Icha. Tak mudah memiliki nama yang pasaran (baca: mayoritas). Setidaknya saya harus membiasakan diri memperkirakan siapa yang dipanggil ketika nama Icha disebut.

Saya gadis berjilbab. Sekitar 70 persen mahasiswi di fakultas saya berjilbab. Ketika seorang bertanya tentang saya misalnya, mereka akan menjawab: yang pakai jilbab. Seakan-akan identitas menjadi tergeneralisis

Karena hal-hal inilah saya kurang setuju dengan pembahasan diversitas yang memandang minoritas sebagai hal yang terpojok, satu-satunya. Nyatanya mayoritas sebenarnya lebih terpojok lagi. Minoritas sepertinya hal yang ampuh untuk menunjukkan identitas, sedangkan mayoritas? Entahlah, mungkin benar kata pepatah: Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri. Selalu ada celah untuk prasangka mengurangi syukur

Jumat, 16 Agustus 2013

Menulis yang Menoda

Hari ini saya benar-benar malu. Nyatanya memang benar malu yang paling mendasar di muka bumi ini adalah malu yang berasal dari dalam diri. Hari ini saya malu dengan semua kolom hobi yang saya isi tatkala mengisi biodata baik untuk formulir resmi maupun sebagai pelengkap syarat.
Menulis. Kegiatan ini yang saya tulis sebagai hobi. Iya, Hobi yang menurut KBBI merupakan kegemaran istimewa. Hobi yang membikin waktu luangmu menjadi manis bersama hal yang menjadi cintamu.

Apakah Saya Mencintai Menulis?
Saya mulai mencintai menulis sejak kelas 4 SD, ketika itu saya sering mengikuti lomba bahasa indonesia antar SD di daerah saya. Suatu hari saya dipanggil oleh Bu Darmi, guru bahasa indonesia saya untuk mengikuti lomba menulis cerpen tingkat SD. Berbekal menulis di 4 halaman folio, saya mendapatkan juara ketiga dalam lomba tersebut. Menjadi pemenang bukan berarti saya semakin terbakar api semangat, justru saya semakin larut dalam euforia tanpa kerja lanjutan.
Entah angin apa yang membawa saya menyukai menulis ketika memasuki bangku SMA. Di antara teman-teman saya dikenal menyukai menulis; baik esai maupun cerpen. Cerpen pertama saya berjudul Senandung Debu Sebuah Botol mejeng di Majalah Kawanku Februari 2011. Saya mengakui bahwa ketika menulis cerpen itu saya benar-benar ingin menulis. Tanpa embel-embel apapun. Mungkin hal ini yang tidak saya temukan di tulisan-tulisan saya yang lain yang lebih banyak niat untuk menambah uang saku, prestis, atau segala tetek bengek yang lainnya.
Puncak dari segala malu saya adalah pada hari ini. Saya merasa sudah menodai kegiatan sakral bernama menulis. Saya merasa dulu saya menyakralkan kegiatan ini. Namun hari ini, ketika saya menulis dengan penuh kebencian. Saya menulis untuk persaingan. Saya menulis supaya orang yang saya benci akan jatuh, dan akhirnya mau menerima saya sebagai pemenang.

Bagi siapapun yang mencintai dan menyakralkan penulis, menulis tanpa hati seperti menulis dengan asam klorida konsentrat tinggi pada sebuah kain. Kau tak akan menuai apa-apa selain lubang yang kosong.

Rabu, 14 Agustus 2013

Hidup Saya Seperti Nasi

Kau pernah merasa bosan dengan nasi? ya, semangkok nasi yang saban delapan jam ada di depan matamu. Bentuknya hampir sama setiap waktu; mungkin hanya berbeda konsistensi saja. Suatu saat kamu sangat bosan makan nasi. Bagaimana tidak? rasanya terlalu hambar. Kalau saja di meja makanmu ada mie atau roti, mungkin kamu akan memilih selain nasi.
Sebelumnya saya tak pernah sadar jika hidup saya seperti nasi sebelum saya menyadari bahwa 3 tahun kehidupan saya di SMA benar-benar nothing. Mulai awal masuk sma saya hampir selalu rendah diri; selalu merasa lebih berbeda. Saya dari smp "minoritas" yang masuk di sma saya. Saat pendaftaran pengurus osis, saya takut untuk mendaftar, takut apabila nantinya ketika saya masuk yang saya temukan nantinya adalah sekelompok manusia yang satu almamater smp yang pastinya sudah mengenal satu sama lain. 
Ya, saya selalu takut tak diterima.
Saat sma saya mulai mencintai dunia menulis. Saat itulah saya mendapat kesempatan mengikuti pelatiha menulis esai setelah rancangan esai saya diterima oleh juri. Ketika saya mengikuti pelatihan selama 4 hari saya hanya menargetkan saya masuk dalam 15 besar sudah sangat baik. Saya tidak pernah berharap saya menjadi 3 besar
Ya, saya selalu melihat secara praktis dalam sebuah masalah
SNMPTN undangan telah dibuka. Dengan nilai saya yang pas-pasan saya berencana memilih jurusan pendidikan saja, dengan harapan bisa langsung diterima dan tak perlu mengikuti tes. Saya tak ingin ambil resiko daftar UI dengan nilai pas-pasan ini meski saya sangat ingin jadi sastrawan dan ahli sejarah seperti yang dibincangkan juri-juri di sela-sela final lomba. Bahkan untuk menyebut pilihan yang sebenarnya saya inginkan saya malu.
Ya, saya tak pernah berani mengambil resiko
Saya selalu gemar membaca tulisan orang-orang yang berbeda; soe hok gie misalnya. Soe seorang cina yang nasionalismenya pada Indonesia tak diragukan lagi. Dari perbedaan dirinyalah lahir tulisan-tulisan yang sangat menarik untuk dibaca. Teman saya yang dulunya menjadi korban bullying teman sma-nya pun menulis proses ia bangkit secara segar. Sedangkan saya? saya adalah kaum mayoritas bangsa Indonesia. Saya bukan cina, saya muslim dan saya tak pernah menjadi korban bullying (dengan catatan saya bukan juga anak "It girl"-nya sekolahan) saya anak biasa yang dibersarkan oleh keluarga sederhana.
Ya, saya selalu merasa hidup saya seperti nasi, yang berbentuk selalu begitu dengan rasa yang seperti begitu. Saya terlalu biasa, selalu menjadi orang biasa. Orang biasa yang dalam organisasi pun berada di tengah tanpa tugas karena tugas dibebankan pada si rajin yang dapat dipercaya dan si malas supaya loyalitasnya dapat ditempa. 
Saya selalu berharap saya menjadi nasi hambar yang ketika dimasukkan ke mulut dan dikunyah oleh geligi maka dapat menimbulkan rasa manis tersendiri. Tapi apa guna harapan jika tak ada usaha? 



Jumat, 19 Juli 2013

Kisah Klise

Dia suka merah, sesuka kamu ketika menyadari kaos yang kamu pakai sewarna dengan dia. Dia tipikal cowok yang sering kamu lihat di Nakayoshi, tabloid komik kesukaanmu saat itu. Dia selalu lewat depan rumahmu dan sejak pertama kali kamu menyadari kamu mendapat ketertarikan pada cowok kelas 6 SD itu, kamu menjadi berani duduk di atas atap, sekedar melihat cowok itu bermain bola di lapangan. Suatu hal hebat bagi kamu yang seorang gadis kelas 5SD

Rumanya hanya beda blok dengan rumahmu. Tapi sungguh sial, seperti konflik pada novel-novel remaja cowok itu akhirnya pindah rumah. Padahal sampai saat itu kamu tak pernah mengobrol atau menyapanya. Kamu tahu namanya pun dari teman-temanmu lain. Sampai saat itu pula kamu tak tahu apakah ia tahu namamu. Sekedar tahu.

Padahal kamu ingin tahu nantinya cowok itu melanjutkan sekolah di mana. Apakah mungkin dia menjadi kakak kelasmu. Siapakah pacar pertamanya kelak. Setidaknya ketika dia masih berbeda blok denganmu kamu punya hubungan spesial dengannya: Kawan sekampung. Lebih tepatnya Anak sepantaran yang kebetulan tinggal di satu kampung.  Hanya sederhana

Dan di malam ini, tetiba kamu bertemu dengannya lagi. Delapan tahun memang telah berlalu, namun ia tetap sama: menyukai warna merah sesuka kamu menyukai kaos yang kamu pakai satu warna dengannya.

Delapan tahun lalu, bukannya waktu yang cukup untuk menghimpun keberanian?



Minggu, 24 Februari 2013

Kenangan

Kenangan ini tentang kita. Sayang bukan milik kita. Hanya milikku dan (mungkin) milikmu

Sebuah Paragraf Pendek yang Ternoda: Kamu di Februari

Februari ini ada aku dan ada kamu. Tapi tak ada kita. Hanya ada kami: aku dan dia. Tunggu februari depan.

Selasa, 01 Januari 2013

and 2013 makes me..

2012 telah berakhir, mengenang 2012 kebahagiaan yang mengantarkan pada singkatnya hidup ini. Kini kebahagiaanku bertambah menjadi 2013: Memiliki kamu
 

(c)2009 Biskuit Kaleng. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger