Pages

Jumat, 16 Agustus 2013

Menulis yang Menoda

Hari ini saya benar-benar malu. Nyatanya memang benar malu yang paling mendasar di muka bumi ini adalah malu yang berasal dari dalam diri. Hari ini saya malu dengan semua kolom hobi yang saya isi tatkala mengisi biodata baik untuk formulir resmi maupun sebagai pelengkap syarat.
Menulis. Kegiatan ini yang saya tulis sebagai hobi. Iya, Hobi yang menurut KBBI merupakan kegemaran istimewa. Hobi yang membikin waktu luangmu menjadi manis bersama hal yang menjadi cintamu.

Apakah Saya Mencintai Menulis?
Saya mulai mencintai menulis sejak kelas 4 SD, ketika itu saya sering mengikuti lomba bahasa indonesia antar SD di daerah saya. Suatu hari saya dipanggil oleh Bu Darmi, guru bahasa indonesia saya untuk mengikuti lomba menulis cerpen tingkat SD. Berbekal menulis di 4 halaman folio, saya mendapatkan juara ketiga dalam lomba tersebut. Menjadi pemenang bukan berarti saya semakin terbakar api semangat, justru saya semakin larut dalam euforia tanpa kerja lanjutan.
Entah angin apa yang membawa saya menyukai menulis ketika memasuki bangku SMA. Di antara teman-teman saya dikenal menyukai menulis; baik esai maupun cerpen. Cerpen pertama saya berjudul Senandung Debu Sebuah Botol mejeng di Majalah Kawanku Februari 2011. Saya mengakui bahwa ketika menulis cerpen itu saya benar-benar ingin menulis. Tanpa embel-embel apapun. Mungkin hal ini yang tidak saya temukan di tulisan-tulisan saya yang lain yang lebih banyak niat untuk menambah uang saku, prestis, atau segala tetek bengek yang lainnya.
Puncak dari segala malu saya adalah pada hari ini. Saya merasa sudah menodai kegiatan sakral bernama menulis. Saya merasa dulu saya menyakralkan kegiatan ini. Namun hari ini, ketika saya menulis dengan penuh kebencian. Saya menulis untuk persaingan. Saya menulis supaya orang yang saya benci akan jatuh, dan akhirnya mau menerima saya sebagai pemenang.

Bagi siapapun yang mencintai dan menyakralkan penulis, menulis tanpa hati seperti menulis dengan asam klorida konsentrat tinggi pada sebuah kain. Kau tak akan menuai apa-apa selain lubang yang kosong.

Rabu, 14 Agustus 2013

Hidup Saya Seperti Nasi

Kau pernah merasa bosan dengan nasi? ya, semangkok nasi yang saban delapan jam ada di depan matamu. Bentuknya hampir sama setiap waktu; mungkin hanya berbeda konsistensi saja. Suatu saat kamu sangat bosan makan nasi. Bagaimana tidak? rasanya terlalu hambar. Kalau saja di meja makanmu ada mie atau roti, mungkin kamu akan memilih selain nasi.
Sebelumnya saya tak pernah sadar jika hidup saya seperti nasi sebelum saya menyadari bahwa 3 tahun kehidupan saya di SMA benar-benar nothing. Mulai awal masuk sma saya hampir selalu rendah diri; selalu merasa lebih berbeda. Saya dari smp "minoritas" yang masuk di sma saya. Saat pendaftaran pengurus osis, saya takut untuk mendaftar, takut apabila nantinya ketika saya masuk yang saya temukan nantinya adalah sekelompok manusia yang satu almamater smp yang pastinya sudah mengenal satu sama lain. 
Ya, saya selalu takut tak diterima.
Saat sma saya mulai mencintai dunia menulis. Saat itulah saya mendapat kesempatan mengikuti pelatiha menulis esai setelah rancangan esai saya diterima oleh juri. Ketika saya mengikuti pelatihan selama 4 hari saya hanya menargetkan saya masuk dalam 15 besar sudah sangat baik. Saya tidak pernah berharap saya menjadi 3 besar
Ya, saya selalu melihat secara praktis dalam sebuah masalah
SNMPTN undangan telah dibuka. Dengan nilai saya yang pas-pasan saya berencana memilih jurusan pendidikan saja, dengan harapan bisa langsung diterima dan tak perlu mengikuti tes. Saya tak ingin ambil resiko daftar UI dengan nilai pas-pasan ini meski saya sangat ingin jadi sastrawan dan ahli sejarah seperti yang dibincangkan juri-juri di sela-sela final lomba. Bahkan untuk menyebut pilihan yang sebenarnya saya inginkan saya malu.
Ya, saya tak pernah berani mengambil resiko
Saya selalu gemar membaca tulisan orang-orang yang berbeda; soe hok gie misalnya. Soe seorang cina yang nasionalismenya pada Indonesia tak diragukan lagi. Dari perbedaan dirinyalah lahir tulisan-tulisan yang sangat menarik untuk dibaca. Teman saya yang dulunya menjadi korban bullying teman sma-nya pun menulis proses ia bangkit secara segar. Sedangkan saya? saya adalah kaum mayoritas bangsa Indonesia. Saya bukan cina, saya muslim dan saya tak pernah menjadi korban bullying (dengan catatan saya bukan juga anak "It girl"-nya sekolahan) saya anak biasa yang dibersarkan oleh keluarga sederhana.
Ya, saya selalu merasa hidup saya seperti nasi, yang berbentuk selalu begitu dengan rasa yang seperti begitu. Saya terlalu biasa, selalu menjadi orang biasa. Orang biasa yang dalam organisasi pun berada di tengah tanpa tugas karena tugas dibebankan pada si rajin yang dapat dipercaya dan si malas supaya loyalitasnya dapat ditempa. 
Saya selalu berharap saya menjadi nasi hambar yang ketika dimasukkan ke mulut dan dikunyah oleh geligi maka dapat menimbulkan rasa manis tersendiri. Tapi apa guna harapan jika tak ada usaha? 



 

(c)2009 Biskuit Kaleng. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger